SELAMAT DATANG DI TUNAS CENDEKIA!

Kami menerima pendaftaran siswa baru untuk jenjang Ibtidaiyah (Fullday School), Tsanawiyah (Boarding School) dan Aliyah (Boarding School)

Selasa, 01 Juni 2010

BABAKAN DESA PESANTREN

Tahun 1960-an, dunia pendidikan kepesantrenan di Babakan menunjukkan perkembangannya. Ini diperlihatkan pada banyaknya asrama pesantren yang didirikan. Bahkan karena banyaknya asrama pesantren yang berdiri, masyarakat setempat menjadi latah menyebut Pesantren Babakan secara geografis menjadi dua sebutan, yaitu Komplek Babakan utara dan Babakan selatan.

Pertumbuhan Pondok Pesantren Babakan inilah semakin hari semakin bersinar dan tidak jarang banyak kalangan menaruh perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam di pesantren Babakan ini. Hingga kini, ada 34 pondok pesantren putra-putri dan lembaga pendidikan formal lainnya.

KH Syarif Hud Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Mutaallimin mengatakan pondok pesantren di Babakan tumbuh menjamur, sehingga dikenal dengan kampung pesantren. Letak antara pesantren yang satu dengan lainnya berdekatan, bahkan ada yang dibatasi pagar tembok.

Nama-nama asrama pesantren dimaksud adalah: komplek Babakan Utara, terdiri dari Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang didirikan oleh KH Amin (saat ini diasuh oleh KH Afif Zuhri Amin). Ini pesantren pertama di Babakan Ciwaringin. Kemudian Asrama Fatimiyah Ma'hadul Ilmi/AFMI (saat ini diasuh oleh KH Maksum Mochtar), Pondok Pesantren Asrarur Rafiah (KH Muhtadi Syarief), Pondok Pesantren Al-Badar (saat ini diasuh oleh KH Tohari), Pondok Pesantren Mahad at-Talim al-Baqiyah as-Salihah/MTBS (saat ini diasuh oleh Ustadz Yusuf), Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi (saat ini diasuh oleh Ustadz Hamzah Hariri), Pondok Pesantren az-Ziyadah (saat ini diasuh KH. Asmawi), Pondok Pesantren al Barakah (Didirikan oleh KH Syadzili) Balai Pendidikan Pondok Putri/Bapenpori (saat ini diasuh oleh KH. Amin Fuad), Pondok Pesantren As-Sanusi (diasuh oleh KH Abdul Kohar), Pondok Pesantren Dahlia (Ustadz Marzuki), Pondok Pesantren As-Suhada (Ustadz Toha Amin), Pondok Pesantren As-Saadah (Ustadz Abdurrahman), Pondok Pesantren Ikhwanul Muslimin/PPIM (saat ini diasuh oleh KH Natsir), Pondok Pesantren at-Taqwa (Ustadz Busyer), Pondok Pesantren al-Munir (Ustadz Munir), Pondok Pesantren al-Furqan (Ustadz Hasan), Pondok Pesantren Al-Mustain (Ustadz Marzuki), dan Pondok Pesantren Al-Faqih (didirikan oleh KH M. Thobiin).

Sementara Pesantren Babakan Selatan, terdiri dari: Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimin pesantren pertama di wilayah Selatan(Didirikan oleh Kyai Mad Amin, saat ini diasuh oleh KH Syarief Hud Yahya), Pondok Pesantren Assalafie (didirikan oleh KH Syaerozi, saat ini diasuh oleh KH Azka Hammam Syaerozi dan KH Yasyif Maemun Syaerozi), Pondok Pesantren Muallimin-Muallimat (didirikan oleh KH. Amin Halim, saat ini diasuh oleh KH Zamzami Amin dan KH Marzuki Ahal), Pondok Pesantren Assalam (diasuh oleh KH Mukhtasun), Pondok Pesantren Kebon Jambu (didirikan oleh KH Muhammad, saat ini diasuh oleh Ustadz Asror Muhammad), Pondok Pesantren Raudlatul Banat (didirikan oleh KH Syarief Hud Yahya), Pondok Pesantren Al Muntadhor (diasuh oleh KH Burhanuddin), Pondok Pesantren Al Hikmah (diasuh oleh KH Nasihin Aziz), Pondok Pesantren Hadiqah Usyaqil Quran/HUQ (Diasuh oleh KH Nurhadi Thayib), Pondok Pesantren al Ikhlas (diasuh oleh KH Mukhlas), Pondok Pesantren Asshalihah (didirikan oleh KH Hasan Palalo), Pondok Pesantren al Huda (diasuh oleh Ustadz Rumli Muntab), Pondok Pesantren Masyarikul Anwar (diasuh oleh KH Makhtum Hanan), Pondok Pesantren Al Kamaliyah (diasuh oleh KH Tamam Kamali), dan Pondok Pesantren Al Kautsar (KH Muhaimin).

Disamping asrama pondok pesantren, Babakan juga memiliki sejumlah lembaga pendidikan formal baik negeri maupun swasta. Di antara lembaga pendidikan negeri, yaitu Madrasah Aliyah Negeri (disebut juga dengan MAN Model), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)dan Sekolah Dasar Negeri (SDN).

Sementara itu, guna membekali santri dengan ijazah yang legitimate, pendidikan madrasah dan sekolah umum yang terstruktur dan berjenjang, didirikan di bumi Pesantren Babakan. Di antaranya adalah: pendidikan tingkat Taman Kanak-Kanak,RA/TK Uswatun Hasanah dan TK Perjuangan), Madrasah Ibtidaiyah (Amalul Mutaallimin – yang berganti nama menjadi Madrasah Terpadu Tunas Cendekia, dan Madrasah Rahmatal Lilalamin), Madrasah Tsanawiyah (Salafiyah Syafiiyah/MSS), Madrasah Terpadu Tunas Cendekia jenjang Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Pesantren/SMPP, Madrasah Aliyah Pesantren/MAP - yang berganti nama menjadi Madrasah Terpadu Tunas Cendekia, SMK Ciwaringin, dan Madrasah al Hikamus Salafiyah (MHS) yang mengelola tingkat: Ibtida'iyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Ma'had Ali.

Disamping lembaga pendidikan tingkat Atas/Aliyah ke bawah, Pesantren Babakan Ciwaringin juga menyelenggarakan pendidikan Strata satu (S1), yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Mahad Ali (STAIMA) dengan konsentrasi pada studi pendidikan Islam/Tarbiyah, Ma'had Ali al-Hikamus Salafiyah yang mengkonsentrasikan pada studi Hukum dan Sejarah Pemikiran Islam, dan Sekolah Tinggi Ilmu Al-Biruni yang berkonsentrasi pada ilmu dakwah. Pendidikan lain yang bersifat non-formal adalah berbagai lembaga kursus di bawah naungan Yayasan Amal al-Biruni dan Ma'had Ali Kebudayaan.

Gagasan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan sosial di Pesantren Babakan tersebut telah mendapat respons positif dari kalangan kiai pengasuh. Selain secara kognitif, tujuan penyelenggaraan pendidikan di Pesantren Babakan Ciwaringin diarahkan pada upaya membentuk para santri dan pelajar agar memiliki kecerdasan dan menguasai ilmu agama dan umum serta keterampilan tertentu, juga santri dan pelajar diharapkan mempunyai akhlak yang terpuji dan peka terhadap fenomena-fenomena sosial serta terampil dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmunya.

Senin, 31 Mei 2010

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN JATIDIRI BANGSA

Oleh Setyo Hajar Dewantoro (Direktur Madrasah Tunas Cendekia)

Bangsa, menurut Ernest Renan, pemikir dari Perancis, adalah sebuah identitas superior yang mengendap dari kesamaan nasib dan cita-cita sekelompok orang, beserta visi masa depan yang dicanangkan bersama. Membenturkan realitas masa kini dengan rumusan Renan, sepatutnya membuat kita prihatin. Kita ternyata masih jauh dari menjadi sebuah bangsa. Berbagai kelompok suku, keagamaan maupun kelas sosial ekonomi terlalu saling berjarak. Sementara visi dan cita-cita berbagai kelompok tersebut acapkali juga saling bertolak belakang bagaikan bumi dan langit.

Padahal, untuk mempertahankan keberadaan sebuah negara-bangsa di tengah arus globalisasi, identitas yang jelas menjadi sebuah keharusan, termasuk dalam hal identitas kebudayaan. Ya, sebagai sebuah negara-bangsa, seharusnya kita memiliki rumusan kebudayaan yang membuat kita bisa dibedakan dari negara-bangsa lainnya, yang bisa kita katakan sebagai jatidiri bangsa. Jatidiri bangsa ini, tentu saja bukan untuk membuat kita terpisah dari negara-bangsa lain, tetapi untuk membuat kita bisa melangkah dengan mantap ke depan, membentuk takdir dan masa depan kita sendiri. Kebutuhan akan jatidiri ini, bisa dianalogikan dengan kehidupan individu: tanpa jatidiri yang kukuh, tanpa penghayatan akan identitasnya sendiri yang otentik, seorang individu tak akan bisa bergerak ke mana-mana, kecuali mengikuti arus yang bisa jadi tak sesuai untuknya.

Pertanyaannya, punyakah bangsa Indonesia sebuah jatidiri? Beberapa pendapat justru menghasilkan kesan jatidiri yang negatif. Semisal dinyatakan oleh Nurcholis Madjid. Ia meminjam istilah Gunnar Myrdal untuk menggambarkan Indonesia: soft state. Indonesia, adalah negara yang lunak, yang warganya cenderung lemah dalam disiplin dan senang menerabas batas hukum, bahkan punya prinsip, hukum di Indonesia memang dibuat untuk dilanggar. Bahkan Mochtar Lubis dengan sarkastis menyebut manusia Indonesia sebagai manusia hipokrit: yang senang mengatakan apa yang dia tidak lakukan, yang berbeda antara perkataan dan perilakunya.

Dalam hemat penulis, apa yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid dan Mochtar Lubis adalah gambaran masyarakat bangsa ini yang tengah sakit dan justru kebingungan tentang jadirinya. Sama persis dengan sesosok remaja yang memilih untuk hidup tanpa arah dan asal-asalan, karena belum mengenal siapa dirinya sebenarnya. Sesungguhnya, jatidiri bangsa Indonesia yang otentik terkait dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, karena berbagai sebab, adakalanya tidak semua warga negara Indonesia mengenal dan menghayati jatidiri ini. Selain itu, karena ikatan kebangsaan yang tidak kuat, banyak anggota masyarakat yang lebih senang mengekspresikan diri sesuai dengan identitas kesukuan dan keagamaannya, bahkan pada titik ketika seharusnya mereka menunjukkan diri sebagai bangsa Indonesia.
Karena itulah, sepatutnya kita menyambut positif berbagai ajakan untuk kembali pada jatidiri bangsa, sebagai langkah awal untuk menata kehidupan bangsa ini dan merenda masa depan yang lebih gemilang. Menjadi kewajiban kitalah untuk merumuskan apa sesungguhnya jatidiri bangsa Indonesia yang otentik, dan kemudian menjadikannya sebagai jatidiri seluruh anak bangsa. Sebagai sebuah bangsa, yang menurut Bennedict Anderson adalah komunitas yang mewujud secara imajiner (imagined communities), semestinyalah Indonesia memiliki atribut yang menggambarkan persamaan budaya dari berbagai elemen bangsa itu, yaitu berbagai suku bangsa dan kelompok keagamaan. Dengan atribut inilah berbagai unsur bangsa yang berbeda itu dipersatukan.

Pada dasarnya, jati diri bangsa, seperti dinyatakan oleh Daniel M. Rosyid, adalah sebuah “proyek konsensus bersama”, sebuah “proses penemuan”, sebuah proses “memaknai kebersamaan sekelompok suku dalam suatu kawasan” dalam rangka memenangkan kompetisi budaya dunia. Ia bukan sesuatu yang statis: ia selalu perpaduan antara yang lama dan baru, yang asli dan asing. Ya, jati diri bangsa merupakan sebuah hasil proses kreatif suatu bangsa yang memungkinkannya bertahan dan tetap ada di tengah kompetisi antara kebudayaa-kebudayaan di dunia.

Seiring dengan perubahan zaman, jatidiri bangsa ini sewajarnyalah mengalami pergeseran, perubahan dan dinamisasi. Namun, penulis berpendapat, pergeseran, perubahan dan dinamisasi itu semestinya hanyalah terjadi pada wilayah cabang dan ranting dari kebudayaan kita, sementara akarnya tetaplah harus dipertahankan, karena akar itu telah terbukti cocok dengan tanah, wilayah dan alam di mana kita hidup. Pada kasus Indonesia, untuk merumuskan jatidiri kita pada masa kini, yang pertama kali harus dilakukan adalah menemukan akar kebudayaan kita: seperti apakah ia? Akar kebudayaan inilah yang harus kita pertahankan, kita lestarikan, jangan sampai lekang oleh perubahan jaman. Kejayaan yang diraih bangsa ini di masa silam, sesungguhnya disebabkan oleh kemampuan untuk bertahan, untuk tidak tercerabut, dari akar budaya yang ditancapkan oleh para leluhur yang pertama kali datang ke nusantara.

Kita perlu sadari, kebudayaan pada dasarnya produk olah akal budi dari sekelompok orang agar mereka bisa hidup selaras dengan alam di mana mereka hidup, agar mereka bisa mengatasi tantangan kehidupan di tanah dan wilayah yang mereka tempati. Sesungguhnya, di balik hal-hal yang selalu berubah dari alam, tanah dan wilayah tempat kehidupan kita, sesungguhnya ada yang konstan, bersifat tetap. Untuk bisa menyelaraskan diri dengan yang konstan dan tetap inilah, sepatutnya kita berpegang teguh postur kebudayaan yang telah terbukti sesuai dengan tantangan yang ada, dan itulah yang kita sebut dengan akar kebudayaan Indonesia atau Nusantara. Dengan kata lain, kita memang harus selalu berpegang teguh pada akar kebudayaan kita sekalipun jaman terus berubah, karena di balik perubahan itu, ada tantangan-tantangan yang sebetulnya bersifat tetap, yang khas Indonesia atau Nusantara, yang hanya bisa diselesaikan melalui resep kebudayaan yang sama dengan di masa lalu.

jatidiri bangsa itu adalah kearifan lokal berupa wawasan, cara pandang dunia, menyangkut Tuhan, alam, manusia, kehidupan, yang khas Nusantara, yang akarnya sesungguhnya ada pada tradisi klasik setiap suku bangsa di Indonesia. Untuk bisa membentuk jatidiri bangsa, justru kita harus “kembali” terlebih dahulu pada tradisi lokal atau tradisi suku bangsa terlebih dahulu. Artinya, kita harus terlebih dahulu menghayati keberadaan kita sebagai orang Jawa, Sunda, Bali, Papua, Maluku dan seterusnya, dan kemudian mewarnai kehidupan kita selaras dengan kearifan lokal pada tradisi-tradisi lokal tersebut.

Seiring dengan itu, kita memunculkan kesadaran bahwa kita juga memiliki ikatan sebagai sebuah bangsa, dan dalam bentuk kebudayaan, ikatan itu dibangun dari sumbangsih berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, berupa nilai-nilai luhur yang cocok untuk dihayati dan dipakai bersama. Dalam hal ini, kita bisa menyebutkan beberapa nilai luhur yang bisa kita hayati bersama dan menggambarkan jatidiri bangsa Indonesia: berketuhanan, gotong royong, toleran, berorientasi pada pelestarian alam, mandiri atau senang berswadaya, terbuka pada orang luar, memuliakan laki sekaligus perempuan, dan seterusnya.

Mempertimbangkan itu, kita, kaum pendidik, memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi, membimbing anak didik kita untuk menelusuri kembali akar kebudayaan dan akar tradisi mereka, kemudian mendorong mereka mengapresiasinya, menghayatinya, mempraktekkannya, kemudian saling mendialogkannya dengan sikap rendah hati. Inilah yang akan mengantarkan kita menjadi sebuah bangsa yang memiliki jatidiri yang kukuh; dan demikian, punya modal besar untuk meraih keunggulan di tengah arus globalisasi yang kian tak tertahankan.

Pancasila sebagai Titik Tolak
Untuk tampil di kancah internasional, tentu saja kita tak bisa hanya menampilkan identitas lokal berbasis etnis maupun identitas keagamaan. Kita juga harus menunjukkan identitas kebangsaan. Pertanyaannya, apakah basis untuk identitas nasional ini? Di sinilah letak pentingnya Pancasila sebagai falsafah bersama bagi bangsa Indonesia, sekaligus sebagai dasar kehidupan bernegara.

Di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut :…”maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Merujuk pada kata “berdasarkan” dalam kalimat di atas, Pancasila ditafsirkan dan ditempatkan sebagai dasar dari Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada Pembukaan Alenia IV. Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi penyelenggaraan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara berarti nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman normatif bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Hingga saat ini, secara formal Pancasila masih disebutkan di dalam dokumen-dokumen resmi sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, spiritnya tidak lagi sekuat di masa lalu, akibat kekeliruan oleh rezim masa lalu yang mengidentifikasi diri sebagai pendukung dan pengamal sejati Pancasila, tetapi justru mempraktekkan berbagai tindakan yang bertentangan dengan Pancasila. Penulis berpendapat, kita, khususnya kaum pemuda, perlu menggali kembali sejarah dan makna Pancasila, karena betapapun, ia pernah menjadi simbol pemersatu bagi bangsa ini. Terlebih di tengah kecenderungan bangsa Indonesia kehilangan pegangan normatif bersama, kita membutuhkan norma pengikat dan pemersatu, termasuk dalam membangun kebudayaan nasional dan mewujudkan jatidiri bangsa yang kukuh.

Merujuk pada fakta sejarah, Pancasila digali pertama kali oleh Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Dalam pidato yang beliau di depan para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang diajukan ia namakan sebagai filosofische grondslag.

Sebetulnya, apa yang dipidatokan oleh Soekarno tersebut, merujuk pada Saafroedin Bahar , lebih tepat disebut sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Lebih jauh, Saafroedin Bahar menjelaskan:

“Sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai nasionalisme, islamisme, marxisme.“

Pancasila, secara historis memang berhasil dijadikan sebagai faktor pemersatu bagi berbagai komponen bangsa di era perjuangan kemerdekaan. Namun, sesungguhnya, sebagai dasar negara, ideologi maupun falsafah, Pancasila belum terumuskan dengan jelas wujud implementatifnya. Pada era Soeharto menjabat presiden, memang sempat dituliskan bahkan disebarluaskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, karena publik menangkap kesan pemaksaan pada upaya itu, seiring dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto, sirna pulalah karisma P4: ia tak lagi banyak dirujuk.

Ke depan, tampaknya kita perlu merekonstruksi Pancasila, merumuskan wujud implementatifnya sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa, sehingga kita punya rujukan bersama untuk membangun kebudayaan nasional dan mengukuhkan jatidiri bangsa. Untuk kepentingan ini, kita bisa coba mengkaji tafsiran dan penjelasan Saafroedin Bahar mengenai Pancasila sebagai berikut:

“Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.

Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam Lambang Negara, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua”. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia beapapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).”

Kebudayaan nasional dan jatidiri bangsa, bisa dirujukkan kepada Pancasila dengan mempertimbangkan berbagai tafsiran yang ada, salah satunya yang dipaparkan Saafroedin Bahar di atas. Dalam pergaulan global, selayaknyalah manusia Indonesia bisa tampil dengan sebuah identitas kebudayaan yang khas, yang berdasarkan Pancasila. Perujukan pada Pancasila sebagai common platform kebangsaan, adalah sebuah pilihan, agar di samping kemajemukan budaya yang dimerdekakan, kita juga memiliki sebuah kebudayaan nasional yang mempersatukan. Secara lebih praktis, jatidiri bangsa Indonesia bisa dirumuskan sebagai berikut: bangsa Indonesia adalah mereka yang berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Sosial. Dalam bahasa yang lebih sederhana, manusia Indonesia semestinya dikenal sbagai manusia yang spiritual, humanis, mengedepankan persatuan, suka bermusyawarah, dan bersikap adil. Tentu saja, kesederhanaan rumusan tersebut hanya dalam tulisan: pada prakteknya, menerapkan dan menanamkan sebuah nilai ideal dalam kehidupan nyata, tentu saja sangat tidak sederhana, lebih tepatnya, sangat sulit. Namun, itu tak sepatutnya menghalangi ikhtiar kita untuk terus menerus mengupayakan lahirnya manusia Indonesia yang unggul dalam pemikiran, sikap dan tindakan, serta sanggup mewujudkan impian bersama, berupa bangsa yang jaya, negeri gemah ripah loh jinawi.

Minggu, 30 Mei 2010

PROGRAM UNGGULAN

1. Bimbingan Riyadhoh
Bimbingan riyadhoh dilaksanakan setiap hari melalui kegiatan shalat wajib berjamaah, sholat dhuha, dzikir ba’da shalat, puasa wajib, puasa sunnah pada momen tertentu, shalat malam dan dzikir malam hari untuk yang mondok.

2. Pengajaran Al Qur'an dan Kitab Kuning

Pengajaran Al Qur’an dan Kitab Kuning dilaksanakan pada jadwal yang telah ditetapkan (yaitu pada Mata Pelajaran Kepesantrenan), diampu oleh Ustadz/Ustadzah yang memang kompeten dalam mengajarkan Al Qur’an dan Kitab Kuning, dengan metode yang inovatif hasil rancangan guru Madrasah Terpadu Tunas Cendekia, dan memanfaatkan teknologi multimedia.

3. Pengajaran Bahasa Inggris dan Arab
Pengajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, selain mengambil pada waktu pada jam pembelajaran reguler sesuai jadwal yang telah ditetapkan, juga dilaksanakan melalui berbagai kegiatan tambahan: Klub Percakapan, Parade Pidato, Pembacaan Dongeng, Membuat Sinopsis Buku, dan Latihan Menulis. Teknologi multimedia juga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendukung pengajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Arab ini.

4. Pengembangan Bakat Olahraga dan Seni
Pengembangan Bakat Olahraga dan Seni selain dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Pihak madrasah secara reguler, minimal 3 bulan sekali memfasilitasi momen berekspresi: lomba, panggung seni, dan semacamnya.

5. Kegiatan Live In (Hidup Bersama Komunitas)dan Perkemahan
Kegiatan Live In (Hidup Bersama Komunitas) dilakukan secara reguler, minimal setiap akhir semester, dan dilaksanakan oleh siswa untuk seluruh jenjang, dengan modifikasi kegiatan sesuai taraf pertumbuhkembangan kognitif dan psikologis siswa. Sebagai variasi menu dalam penumbuhan kemandirian dan pengasahan rasa kepedulian sosial, secara reguler juga diselenggarakan Perkemahan Siswa.

6. Pengembangan Kemandirian dan Vocational Skills
Pada jenjang MI dan MTs, pengembangan kemandirian dan keterampilan vokasional dilakukan melalui pengenalan berbagai profesi yang ada dan bisa menjadi pilihan siswa di masa depan, serta melalui pelatihan keterampilan hidup berbasis rumah tangga (bercocok tanam, memelihara hewan, menjahit, memasak, dan lainnya) ;
Pada jenjang MA, pengembangan kemandirian dan keterampilan vokasional dilakukan melalui pelatihan keterampilan yang berpotensi memberikan penghasilan (produksi kerajinan, menulis, percetakan, menjahit, dll).

7. Orang Tuaku Guruku
Sebagai sarana untuk memperkaya khazanah pengalaman siswa, merekatkan siswa dengan orang tuanya sendiri atau orang tua sesama siswa, sekaligus untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh orang tua siswa, diselenggarakan kegiatan talkshow yang menghadirkan orang tua siswa sebagai pembicara, dengan frekuensi minimal 1 bulan sekali.

8. Pembelajaran Pembangunan
Untuk membantu para siswa mengenal daerahnya sekaligus memahami dinamika pembangunan daerah, dilaksanakan pembelajaran pembangunan melalui kegiatan riset individu/kelompok berbentuk observasi, wawancara, studi literatur, dan Wisata Pendidikan, dalam bentuk kunjungan kepada tempat tertentu yang mencerminkan salah satu dinamika pembangunan daerah, dengan didamping oleh pemandu profesional. Kegiatan minimal dilaksanakan 1 bulan sekali.

PARADIGMA PENDIDIKAN DI TUNAS CENDEKIA


Oleh Setyo Hajar Dewantoro (Direktur Madrasah Terpadu Tunas Cendekia)

***Pendidikan untuk Lahirkan Khalifah fil Ardh***

Khalifah adalah konsep Al Qur’an yang paling penting dan mendasar ketika berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Berawal dari kisah penciptaan Adam, manusia yang nota bene merupakan Bani Adam ditahbiskan sebagai khalifatullah fil ardh. Sungguh terkenal ayat Al Qur’an yang menegaskan hal ini: “Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah .... Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al Baqarah: 30).

Ya, manusia adalah khalifah fil ardh. Siapapun Anda, apapun warna kulit Anda, siapapun orang tua Anda, bagaimanapun rupa Anda, seperti apapun Anda kini dinilai orang, Anda adalah khalifah, dan selamanya tetap merupakan khalifah. Konsep khalifah dengan sangat mantap mengukuhkan kemuliaan, kesetaraan dan kesejajaran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta.

Persoalannya adalah, di antara manusia ada yang kemudian alfa terhadap hakikat dirinya. Mereka lupa bahwa mereka mereka adalah khalifah dengan segenap potensi dan tanggung jawab yang membedakan mereka dengan makhluk lain di alam semesta. Akhirnya mereka tak mencitrakan kekhalifahan dalam kehidupan. Sementara sebagian yang lain, tetap berkesadaran penuh bahwa mereka adalah seorang khalifah, dan kemudian secaran konsisten mereka menjalani kehidupan dengan citra seorang khalifah.

Tindakan Seorang Khalifah
Seperti apakah manusia yang bisa mewujudkan citra dirinya sebagai khalitullah fil ardh? Sang khalifah adalah sosok yang mampu memakmurkan bumi. Sang khalifah adalah sosok yang mampu menjadi wakil Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya. Sang khalifah adalah pusat semesta, yang mampu memimpin dengan kekuatan pengaruh yang dimiliki.

Seperti dikatakan penyair Muhammad Iqbal, sebagai pemakmur bumi, manusia sejatinya punya tugas dasar sebagai pemberi nilai lebih bagi kehidupan. Ialah yang mengolah sejumput tanah liat menjadi gerabah. Ia yang mengubah sesuatu yang semula hanya teronggok, menjadi sesuatu yang dapat memberi manfaat dan kebahagiaan bagi makhluk lainnya. Sebagai pemakmur bumi, manusialah yang mengubah tanah, bebatuan dan kayu-kayu menjadi kota hunian yang berperadaban.

Sementara sebagai wakil Allah – manusia adalah sebagaimana digambarkan oleh Sayyed Hossein Nasr, seorang cendekiawan Iran kontemporer, “.... jembatan antara langit dan bumi, instrumen yang menjadi perwujudan dan kristalisasi kehendak Allah di dunia.” Allah, Sang Penyelenggara Kehidupan, menyampaikan pesan-Nya baik lewat tulisan dalam Kitab Suci maupun melalui isyarat-isyarat fenomena alam semesta yang harus ditangkap oleh manusia, untuk kemudian diwujudkan dalam hidup, dalam dinamika yang melanggengkan alam semesta.
Sementara sebagai pemimpin, sejatinya manusia dikarunia kemampuan untuk mendominasi sekaligus mengatur hitam putihnya kehidupan dan alam semesta. Manusia diberi kebebasan untuk memanfaatkan alam semesta ini. Tak heran jika kemudian pada titik ekstrem kealfaannya, seorang manusia bisa mengatakan kepada manusia lainnya, “Anna robbakumul a’la, Sayalah Tuhanmu yang tertinggi.” Manusia memang punya bakat untuk jadi penguasa alam semesta. Masalahnya adalah, kepemimpinan manusia di alam semesta tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terkait erat dengan Kehendak Tuhan. Kekuasaan manusia tak absolut, tidak mutlak, karena ada koridor etis yang harus dipenuhi. Kekuasaan itu harus sepenuhnya mencitrakan Kehendak, Keindahan, dan Kemuliaan Ilahi.

Bekal Sebagai Khalifah
Manusia dijadikan sebagai khalifah, tentu karena ada hal istimewa, sebuah diferensiasi, yang membedakan dengan makhluk lainnya. Adalah benar bahwa seluruh makhluk Allah pada dasarnya mulia, mereka semua mencerminkan Keindahan dan Keagungan-Nya. Tapi seperti yang dinyatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, “ ...manusia adalah yang paling mulia di antara makhluk, dalam arti manusialah yang mencerminkan Nama-nama serta Sifat Tuhan secara lengkap. Manusia adalah satu-satunya pusat makhluk. Manusialah yang memiliki peran sebagai khalifah sekaligus hamba Allah.”

Salah satu hal yang membuat manusia menjadi makhluk termulia, bahkan lebih mulia dari para malaikat, adalah karena manusia memiliki kapasitas intelegensia tertinggi. Itulah yang digambarkan dalam Al Qur’an:
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama segala benda, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, seraya berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kalian memang benar! Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh! Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini. Setelah Adam memberitahukan nama-nama benda itu kepada mereka, Allah berfirman: Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?.” (QS Al Baqarah: 31-35)

Manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ar Rahman, setelah dia diciptakan, oleh Allah lantas dikarunia al bayan, kemampuan untuk membedakan nama-nama, mengembangkan konsep, merasa dan melakukan tindakan mental lainnya, sesuatu yang kita kenal sebagai intelegensia. Al bayan, seperti yang diungkapkan ahli tafsir wanita dari Mesir, Bintusy Syathi’, adalah ciri khas kemanusiaan. Ia mengatakan, “...al bayan merupakan alat bagi manusia dalam mengungkapkan isi hatinya, juga sarana untuk mempraktikkan kemampuannya berpikir dan belajar, sehingga manusia berhak menjadi khalifah di muka bumi.”

Intelegensia inilah yang juga membuat manusia layak mendapat gelar ulul albab, sosok makhluk yang selain senantiasa berdzikir kepada Allah, juga selalu bertafakkur, berpikir, tentang penciptaan di langit dan di bumi, tentang pergantian siang dan malam, tentang segenap fenomena pergerakan alam semesta.
Berbicara tentang intelegensia, patutlah kita perbincangkan organ tubuh manusia yang teramat luar biasa dan selama ini oleh para ahli sering dikaitkan dengannya: Otak! Ya, secara fisik, otaklah yang menjadi bekal manusia untuk menjadi khalifah fil ardh. Tanpa otak, tak ada intelegensia. Jika otak Anda rusak, rusak pulalah intelegensia Anda. Dengan demikian, tamat pulalah riwayat Anda sebagai khalifah fil ardh.

Saya percaya bahwa Anda tahu, betapa dahsyatnya otak kita. Seperti digambarkan Joyce Wycoff, pakar kreativitas, dengan wujud yang keriput keabu-abuan dan berat hanya sekitar 1,5 kg, otak ternyata menyimpan 10 sampai 15 miliar sel saraf yang mampu membuat 10800 jalur! Otak – seperti dinyatakan oleh Richard Restak, dapat menyimpan informasi lebih banyak dari seluruh perpustakaan di dunia. Bahkan Judith Hooper dan Dick Teresi berani mengatakan, “Otaklah alam semesta tersebut!”

Memang, dalam khazanah kearifan tradisional kita juga mengenal bahwa sejatinya manusia adalah mikrokosmos (alam ash shogir), yang mencerminkan keagungan dan ketakterbatasan makrokosmos (alam al kabir). Dan pusat organ kehidupan manusia terletak pada otak.

Bekal Itu Tak Terpakai
Sayangnya, manusia tak cukup sadar dan pandai untuk memanfaatkan bekal yang dikaruniakan Allah kepadanya. Berbagai pandangan para ahli menyatakan betapa sedikit sekali kapasitas otak manusia yang terpakai. Kebanyakannya nganggur! Riset yang dilakukan pada tahun 90-an menyebutkan bahwa rata-rata manusia pada masa itu hanya memanfaatkan 0,01 % - bahkan lebih kecil – dari kapasitas otaknya.

Kemudian, kita tahu bahwa neokorteks, bagian otak yang menjadi “rumah akal”, tempat berpikir, memiliki belahan kanan dan kiri yang masing-masing mengontrol fungsi yang berbeda. Sekalipun tak bisa dipilah secara tegas – dengan kata lain masing-masing belahan tersebut saling berhubungan, keduanya punya karakter yang berbeda. Otak kanan cenderung bersifat logis, rasional, sekuensial, linear dan terperinci. Belahan otak ini banyak berperan dalam fungsi-fungsi berbahasa, menulis, membaca, dan berpikir matematis. Sementara belahan otak kanan cenderung bersifat emosional, intuitif, holistik, acak dan global, yang berperan dalam aktivitas seni, mencipta, musik dan semacamnya.

Seperti diungkapkan AM Rukky Santoso, penggagas The Right Brain Training, kebanyakan kita – khususnya di Indonesia – relatif hanya memanfaatkan otak kiri. Sementara otak kanan tak banyak dimanfaatkan. Model manusia otak kirilah yang banyak dihasilkan oleh lingkungan pendidikan kita, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Banyak orang yang tampak cerdas secara akademis, tapi punya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang rendah. Banyak di antara kita yang terlihat hebat dan sehat, sesungguhnya sakit, secara fisik maupun mental. Karena belahan otak yang banyak dipakai hanya sebelah, sistem kerja kelenjar penghasil hormon di dalam tubuh juga tak maksimal diberdayakan. Banyak anggota masyarakat kita yang rentan terserang penyakit fisik. Pada saat bersamaan, emosi mereka juga acapkali tak terkendali. Banyak di antara kita yang sulit punya integritas yang menunjukkan keselarasan antara perbuatan dengan perkataan dan pikiran. Juga banyak di antara kita yang sulit merasa bahagia melalui kemampuan memaknai kehidupan yang sejatinya indah. Lebih itu, banyak di antara kita yang berhubungan dengan Tuhan secara sangat gersang, kering. Tak ada kehangatan cinta dalam ritualitas yang kita lakukan.

Nah, betapa mungkin fungsi kekhalifahan bisa dijalankan jika ternyata bekal yang menjadi modal dasar kita sebagai khalifah, tak bisa kita kelola dengan baik? Layaklah jika banyak di antara kita yang jatuh terjerembab pada keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, jeratan penyakit, ketakbahagiaan dan kekacauan hidup, karena memang karunia yang luar biasa dari Allah Sang Penyelenggara Kehidupan tak kita syukuri dengan baik. Kita lalai memelihara dan memanfaatkannya secara benar.

Pendidikan untuk Menjaga Fitrah
Menjadi khalifah adalah fitrah manusia. Jika selama ini banyak di antara kita gagal menjadi khalifah, itu karena lingkungan dan pendidikan kita selama ini cenderung membawa kita keluar dari jalur fitrah. Sebagian kita digiring menjadi makhluk rasional semata yang menistakan emosi, intuisi dan spiritualitas. Sebagian yang lainnya dibawa ke arah tidak kenal diri; ke arah kesibukan memperhatikan sisi luar kehidupan sembari abai bahwa sesungguhnya ada kehidupan yang luar biasa di dalam diri.

Lingkungan dan pendidikan kita selama ini, barangkali tanpa kita sadari dan ramalkan, banyak menghasilkan manusia abnormal, manusia di bawah standar khalifatullah fil ardh. Kita justru menjadi seperti yang dikhawatirkan malaikat, “orang yang akan membuat kerusakan padanya (muka bumi) dan menumpahkan darah.”

Terlalu banyak petunjuk untuk membenarkan hal ini. Mari kita lihat, betapa banyak kota di Indonesia yang dihuni banyak kaum cerdik cendekia – kelompok yang terhormat dengan status sosial, jabatan dan gelar akademis yang tinggi, justru terperangkap ke dalam masalah-masalah yang seolah lingkaran setan: polusi yang gawat, kemacetan yang kritis, kriminalitas yang mengerikan dan semacamnya. Intinya, banyak di antara masyarakat kita yang sesungguhnya dimotori kelompok yang mengklaim sebagai intelektual, orang-orang pandai, ternyata tak menampakkan kehidupan yang berkeadaban. Yang tampak jelas justru kekacauan, kesemrawutan, sesuatu yang jauh dari citra masyarakat manusia yang bermartabat dan mulia.
Menimbang itu semua, sudah saatnya mereka yang peduli pada kehidupan di masa depan, berpikir serius untuk menata kembali pendidikan dan lingkungan yang selama ini cenderung sakit dan akibatnya melahirkan banyak orang sakit. Kalau perlu kita bongkar fondasi sistem yang ada, karena masalah kita memang terletak pada wilayah yang paling mendasar. Upaya perbaikan yang bersifat artifisial, kosmetik, yang hanya menunjukkan kegenitan intelektual, tak akan mendatangkan apa-apa kecuali langgengnya persoalan.

Yang kita perlukan adalah pendidikan dengan arah yang jelas: pendidikan yang menjaga fitrah manusia agar bisa menjadi khalifatullah fil ardh. Itu adalah pendidikan, yang pertama dan terutama, secara tepat menerapkan filosofi kemanusiaan yang utuh. Sistem, metodologi dan model pendidikan tersebut di dasarkan pada anggapan bahwa manusia adalah makhluk terbaik yang merupakan citra-Nya sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an: “Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai penciptaan manusia dari lempung, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina, kemudian menyempurnakannya, dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh-Nya ....” (QS 32: 7-9).

Itu adalah sistem pendidikan yang mendorong dan melatih manusia agar mampu memanfaatkan belahan otak kanan dan kirinya secara seimbang. Sebuah sistem pendidikan yang memaknai intelegensia secara utuh, dan membantu manusia memiliki keutuhan intelegensia tersebut.

Sungguh, masa depan yang lebih beradab, yang lebih mencerminkan kemuliaan manusia, adalah dambaan kita semua. Masa depan seperti itu pulalah yang kita begitu berharap akan kita wariskan kepada anak keturunan kita. Dan tonggak penting untuk mewujudkan semua itu, adalah pembangunan kembali sistem pendidikan yang bisa melahirkan para khalifah fil ardh.

STANDAR PROSES PEMBELAJARAN


Proses pembelajaran pada Madrasah Terpadu Tunas Cendekia diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Di dalam proses pembelajaran di Madrasah Terpadu Tunas Cendekia, para pendidik juga diharuskan memberikan keteladanan dalam sikap ilmiah dan akhlakuk karimah.

Madrasah Terpadu Tunas Cendekia melakukan perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

TENAGA EDUKATIF DI TUNAS CENDEKIA

1)Guru setiap mata pelajaran di madrasah ini bisa mengampu mata pelajaran untuk 3 jenjang pendidikan sekaligus;
2)Setiap guru di madrasah ini bekerja penuh waktu dan bertugas tidak hanya ketika punya jam mengajar di kelas, melainkan juga membimbing kegiatan siswa di luar kelas yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya;
3)Setiap guru di madrasah ini memenuhi kualifikasi minimal sesuai standar nasional, plus menguasai kompetensi pendidik sesuai standar yang ditetapkan oleh madrasah: menguasai materi pelajaran yang diampu, mampu mengembangkan kegiatan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, bisa menjadi teladan dalam hal akhlak dan tradisi keilmuan, serta bisa membimbing siswa dalam kegiatan belajar di luar kelas.

Tim Guru: H. Itah Miftahul Ulum (King Abdul Azis University & Pasca Sarcana UIN Bandung), Ali Mukhayat (Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya), Bukhori (Program Magister Manajemen IPWIJA), Rezka Hajwan Sukman (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Pasca Sarjana IAIN Syeikh Nurjati), Pramono (Universitas Negeri Semarang), Vi'liya Tulaellah (Universitas Diponegoro Semarang), Berliana (Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta), Muhammad (Universitas Jayabaya Jakarta), dll.

Kepala Pondok: Drs. Abdul Wachid (Ponpes Lirboyo)

KEKHASAN DALAM LAYANAN PEMBELAJARAN



1)Pembelajaran ilmu-ilmu diniyah yang bersumberkan pada kitab kuning, dilaksanakan secara intensif, mengambil porsi mayoritas pada jam pelajaran di kelas, serta menerapkan metode Quantum Learning berbasis IT & Multimedia;

2)Pembelajaran sains dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual dan ditunjang kegiatan di luas kelar, melalui kegiatan belajar kelompok, kegiatan mandiri/individual, dan berbagai eksperimen terbimbing;

3)Pembelajaran IT dan bahasa diefektifkan melalui praktek yang intensif dan akses yang luas terhadap berbagai sumber belajar;

4)Seluruh siswa diarahkan untuk memiliki kemandirian/kecakapan vocational tertentu yang tersertifikasi;

5)Kegiatan siswa di pondok/asrama (di luar jam belajar di kelas) dilaksanakan secara terprogram dibimbing oleh para pengasuh dengan orientasi pembiasaan riyadhoh dan pengembangan budaya hidup disiplin.

TIGA PILAR KEUNGGULAN


PENDALAMAN ILMU AGAMA BERBASIS KITAB KUNING & PEMBANGUNAN KARAKTER

PENGUASAAN BAHASA & IT

PENGEMBANGAN ENTREPRENEURSHIP & VOCATIONAL SKILLS

MISSI DAN VISI


Missi kami adalah “Menyelenggarakan pendidikan yang menghargai fitrah anak yang luhur, sekaligus mengakomodasi potensi anak yang berbeda-beda, serta berorientasi pada pembangunan karakter anak didik sebagai ulil albab, khalifatullah fil ardh, dan pribadi rahmatan lil ‘alamiin.”

Kami punya visi ke depan: “MENJADI SEKOLAH BERKULTUR PESANTREN SALAF YANG UNGGUL DAN PUNYA REPUTASI NASIONAL”

Sabtu, 29 Mei 2010

KARAKTER MADRASAH TERPADU TUNAS CENDEKIA

•INTEGRASI ILMU : Tunas Cendekia untuk tidak semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan pemahaman dan penghayatan agama (tafaqquh fi al-diin), tetapi juga mencakup peningkatan penguasaan sains dan teknologi, dengan prinsip integrasi ilmu.

•BOARDING SCHOOL: Selain karakteristik di atas, juga memiliki karakteristik tambahan: berasrama – siswa tinggal di asrama yang disediakan madrasah.

•TERPADU DENGAN PESANTREN: Selain berasrama, juga dilengkapi dengan kajian Islam dengan mempergunakan metode pendidikan pesantren.

ALAMAT

Kampus Kyai Mochtar, Jl. Kyai Jatira No. 02 Desa Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Contact Person: Setyo HD (085659846447), Masrur (081313337222)