SELAMAT DATANG DI TUNAS CENDEKIA!

Kami menerima pendaftaran siswa baru untuk jenjang Ibtidaiyah (Fullday School), Tsanawiyah (Boarding School) dan Aliyah (Boarding School)

Minggu, 30 Mei 2010

PARADIGMA PENDIDIKAN DI TUNAS CENDEKIA


Oleh Setyo Hajar Dewantoro (Direktur Madrasah Terpadu Tunas Cendekia)

***Pendidikan untuk Lahirkan Khalifah fil Ardh***

Khalifah adalah konsep Al Qur’an yang paling penting dan mendasar ketika berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Berawal dari kisah penciptaan Adam, manusia yang nota bene merupakan Bani Adam ditahbiskan sebagai khalifatullah fil ardh. Sungguh terkenal ayat Al Qur’an yang menegaskan hal ini: “Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah .... Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al Baqarah: 30).

Ya, manusia adalah khalifah fil ardh. Siapapun Anda, apapun warna kulit Anda, siapapun orang tua Anda, bagaimanapun rupa Anda, seperti apapun Anda kini dinilai orang, Anda adalah khalifah, dan selamanya tetap merupakan khalifah. Konsep khalifah dengan sangat mantap mengukuhkan kemuliaan, kesetaraan dan kesejajaran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta.

Persoalannya adalah, di antara manusia ada yang kemudian alfa terhadap hakikat dirinya. Mereka lupa bahwa mereka mereka adalah khalifah dengan segenap potensi dan tanggung jawab yang membedakan mereka dengan makhluk lain di alam semesta. Akhirnya mereka tak mencitrakan kekhalifahan dalam kehidupan. Sementara sebagian yang lain, tetap berkesadaran penuh bahwa mereka adalah seorang khalifah, dan kemudian secaran konsisten mereka menjalani kehidupan dengan citra seorang khalifah.

Tindakan Seorang Khalifah
Seperti apakah manusia yang bisa mewujudkan citra dirinya sebagai khalitullah fil ardh? Sang khalifah adalah sosok yang mampu memakmurkan bumi. Sang khalifah adalah sosok yang mampu menjadi wakil Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya. Sang khalifah adalah pusat semesta, yang mampu memimpin dengan kekuatan pengaruh yang dimiliki.

Seperti dikatakan penyair Muhammad Iqbal, sebagai pemakmur bumi, manusia sejatinya punya tugas dasar sebagai pemberi nilai lebih bagi kehidupan. Ialah yang mengolah sejumput tanah liat menjadi gerabah. Ia yang mengubah sesuatu yang semula hanya teronggok, menjadi sesuatu yang dapat memberi manfaat dan kebahagiaan bagi makhluk lainnya. Sebagai pemakmur bumi, manusialah yang mengubah tanah, bebatuan dan kayu-kayu menjadi kota hunian yang berperadaban.

Sementara sebagai wakil Allah – manusia adalah sebagaimana digambarkan oleh Sayyed Hossein Nasr, seorang cendekiawan Iran kontemporer, “.... jembatan antara langit dan bumi, instrumen yang menjadi perwujudan dan kristalisasi kehendak Allah di dunia.” Allah, Sang Penyelenggara Kehidupan, menyampaikan pesan-Nya baik lewat tulisan dalam Kitab Suci maupun melalui isyarat-isyarat fenomena alam semesta yang harus ditangkap oleh manusia, untuk kemudian diwujudkan dalam hidup, dalam dinamika yang melanggengkan alam semesta.
Sementara sebagai pemimpin, sejatinya manusia dikarunia kemampuan untuk mendominasi sekaligus mengatur hitam putihnya kehidupan dan alam semesta. Manusia diberi kebebasan untuk memanfaatkan alam semesta ini. Tak heran jika kemudian pada titik ekstrem kealfaannya, seorang manusia bisa mengatakan kepada manusia lainnya, “Anna robbakumul a’la, Sayalah Tuhanmu yang tertinggi.” Manusia memang punya bakat untuk jadi penguasa alam semesta. Masalahnya adalah, kepemimpinan manusia di alam semesta tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terkait erat dengan Kehendak Tuhan. Kekuasaan manusia tak absolut, tidak mutlak, karena ada koridor etis yang harus dipenuhi. Kekuasaan itu harus sepenuhnya mencitrakan Kehendak, Keindahan, dan Kemuliaan Ilahi.

Bekal Sebagai Khalifah
Manusia dijadikan sebagai khalifah, tentu karena ada hal istimewa, sebuah diferensiasi, yang membedakan dengan makhluk lainnya. Adalah benar bahwa seluruh makhluk Allah pada dasarnya mulia, mereka semua mencerminkan Keindahan dan Keagungan-Nya. Tapi seperti yang dinyatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, “ ...manusia adalah yang paling mulia di antara makhluk, dalam arti manusialah yang mencerminkan Nama-nama serta Sifat Tuhan secara lengkap. Manusia adalah satu-satunya pusat makhluk. Manusialah yang memiliki peran sebagai khalifah sekaligus hamba Allah.”

Salah satu hal yang membuat manusia menjadi makhluk termulia, bahkan lebih mulia dari para malaikat, adalah karena manusia memiliki kapasitas intelegensia tertinggi. Itulah yang digambarkan dalam Al Qur’an:
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama segala benda, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, seraya berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kalian memang benar! Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh! Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini. Setelah Adam memberitahukan nama-nama benda itu kepada mereka, Allah berfirman: Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?.” (QS Al Baqarah: 31-35)

Manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ar Rahman, setelah dia diciptakan, oleh Allah lantas dikarunia al bayan, kemampuan untuk membedakan nama-nama, mengembangkan konsep, merasa dan melakukan tindakan mental lainnya, sesuatu yang kita kenal sebagai intelegensia. Al bayan, seperti yang diungkapkan ahli tafsir wanita dari Mesir, Bintusy Syathi’, adalah ciri khas kemanusiaan. Ia mengatakan, “...al bayan merupakan alat bagi manusia dalam mengungkapkan isi hatinya, juga sarana untuk mempraktikkan kemampuannya berpikir dan belajar, sehingga manusia berhak menjadi khalifah di muka bumi.”

Intelegensia inilah yang juga membuat manusia layak mendapat gelar ulul albab, sosok makhluk yang selain senantiasa berdzikir kepada Allah, juga selalu bertafakkur, berpikir, tentang penciptaan di langit dan di bumi, tentang pergantian siang dan malam, tentang segenap fenomena pergerakan alam semesta.
Berbicara tentang intelegensia, patutlah kita perbincangkan organ tubuh manusia yang teramat luar biasa dan selama ini oleh para ahli sering dikaitkan dengannya: Otak! Ya, secara fisik, otaklah yang menjadi bekal manusia untuk menjadi khalifah fil ardh. Tanpa otak, tak ada intelegensia. Jika otak Anda rusak, rusak pulalah intelegensia Anda. Dengan demikian, tamat pulalah riwayat Anda sebagai khalifah fil ardh.

Saya percaya bahwa Anda tahu, betapa dahsyatnya otak kita. Seperti digambarkan Joyce Wycoff, pakar kreativitas, dengan wujud yang keriput keabu-abuan dan berat hanya sekitar 1,5 kg, otak ternyata menyimpan 10 sampai 15 miliar sel saraf yang mampu membuat 10800 jalur! Otak – seperti dinyatakan oleh Richard Restak, dapat menyimpan informasi lebih banyak dari seluruh perpustakaan di dunia. Bahkan Judith Hooper dan Dick Teresi berani mengatakan, “Otaklah alam semesta tersebut!”

Memang, dalam khazanah kearifan tradisional kita juga mengenal bahwa sejatinya manusia adalah mikrokosmos (alam ash shogir), yang mencerminkan keagungan dan ketakterbatasan makrokosmos (alam al kabir). Dan pusat organ kehidupan manusia terletak pada otak.

Bekal Itu Tak Terpakai
Sayangnya, manusia tak cukup sadar dan pandai untuk memanfaatkan bekal yang dikaruniakan Allah kepadanya. Berbagai pandangan para ahli menyatakan betapa sedikit sekali kapasitas otak manusia yang terpakai. Kebanyakannya nganggur! Riset yang dilakukan pada tahun 90-an menyebutkan bahwa rata-rata manusia pada masa itu hanya memanfaatkan 0,01 % - bahkan lebih kecil – dari kapasitas otaknya.

Kemudian, kita tahu bahwa neokorteks, bagian otak yang menjadi “rumah akal”, tempat berpikir, memiliki belahan kanan dan kiri yang masing-masing mengontrol fungsi yang berbeda. Sekalipun tak bisa dipilah secara tegas – dengan kata lain masing-masing belahan tersebut saling berhubungan, keduanya punya karakter yang berbeda. Otak kanan cenderung bersifat logis, rasional, sekuensial, linear dan terperinci. Belahan otak ini banyak berperan dalam fungsi-fungsi berbahasa, menulis, membaca, dan berpikir matematis. Sementara belahan otak kanan cenderung bersifat emosional, intuitif, holistik, acak dan global, yang berperan dalam aktivitas seni, mencipta, musik dan semacamnya.

Seperti diungkapkan AM Rukky Santoso, penggagas The Right Brain Training, kebanyakan kita – khususnya di Indonesia – relatif hanya memanfaatkan otak kiri. Sementara otak kanan tak banyak dimanfaatkan. Model manusia otak kirilah yang banyak dihasilkan oleh lingkungan pendidikan kita, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Banyak orang yang tampak cerdas secara akademis, tapi punya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang rendah. Banyak di antara kita yang terlihat hebat dan sehat, sesungguhnya sakit, secara fisik maupun mental. Karena belahan otak yang banyak dipakai hanya sebelah, sistem kerja kelenjar penghasil hormon di dalam tubuh juga tak maksimal diberdayakan. Banyak anggota masyarakat kita yang rentan terserang penyakit fisik. Pada saat bersamaan, emosi mereka juga acapkali tak terkendali. Banyak di antara kita yang sulit punya integritas yang menunjukkan keselarasan antara perbuatan dengan perkataan dan pikiran. Juga banyak di antara kita yang sulit merasa bahagia melalui kemampuan memaknai kehidupan yang sejatinya indah. Lebih itu, banyak di antara kita yang berhubungan dengan Tuhan secara sangat gersang, kering. Tak ada kehangatan cinta dalam ritualitas yang kita lakukan.

Nah, betapa mungkin fungsi kekhalifahan bisa dijalankan jika ternyata bekal yang menjadi modal dasar kita sebagai khalifah, tak bisa kita kelola dengan baik? Layaklah jika banyak di antara kita yang jatuh terjerembab pada keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, jeratan penyakit, ketakbahagiaan dan kekacauan hidup, karena memang karunia yang luar biasa dari Allah Sang Penyelenggara Kehidupan tak kita syukuri dengan baik. Kita lalai memelihara dan memanfaatkannya secara benar.

Pendidikan untuk Menjaga Fitrah
Menjadi khalifah adalah fitrah manusia. Jika selama ini banyak di antara kita gagal menjadi khalifah, itu karena lingkungan dan pendidikan kita selama ini cenderung membawa kita keluar dari jalur fitrah. Sebagian kita digiring menjadi makhluk rasional semata yang menistakan emosi, intuisi dan spiritualitas. Sebagian yang lainnya dibawa ke arah tidak kenal diri; ke arah kesibukan memperhatikan sisi luar kehidupan sembari abai bahwa sesungguhnya ada kehidupan yang luar biasa di dalam diri.

Lingkungan dan pendidikan kita selama ini, barangkali tanpa kita sadari dan ramalkan, banyak menghasilkan manusia abnormal, manusia di bawah standar khalifatullah fil ardh. Kita justru menjadi seperti yang dikhawatirkan malaikat, “orang yang akan membuat kerusakan padanya (muka bumi) dan menumpahkan darah.”

Terlalu banyak petunjuk untuk membenarkan hal ini. Mari kita lihat, betapa banyak kota di Indonesia yang dihuni banyak kaum cerdik cendekia – kelompok yang terhormat dengan status sosial, jabatan dan gelar akademis yang tinggi, justru terperangkap ke dalam masalah-masalah yang seolah lingkaran setan: polusi yang gawat, kemacetan yang kritis, kriminalitas yang mengerikan dan semacamnya. Intinya, banyak di antara masyarakat kita yang sesungguhnya dimotori kelompok yang mengklaim sebagai intelektual, orang-orang pandai, ternyata tak menampakkan kehidupan yang berkeadaban. Yang tampak jelas justru kekacauan, kesemrawutan, sesuatu yang jauh dari citra masyarakat manusia yang bermartabat dan mulia.
Menimbang itu semua, sudah saatnya mereka yang peduli pada kehidupan di masa depan, berpikir serius untuk menata kembali pendidikan dan lingkungan yang selama ini cenderung sakit dan akibatnya melahirkan banyak orang sakit. Kalau perlu kita bongkar fondasi sistem yang ada, karena masalah kita memang terletak pada wilayah yang paling mendasar. Upaya perbaikan yang bersifat artifisial, kosmetik, yang hanya menunjukkan kegenitan intelektual, tak akan mendatangkan apa-apa kecuali langgengnya persoalan.

Yang kita perlukan adalah pendidikan dengan arah yang jelas: pendidikan yang menjaga fitrah manusia agar bisa menjadi khalifatullah fil ardh. Itu adalah pendidikan, yang pertama dan terutama, secara tepat menerapkan filosofi kemanusiaan yang utuh. Sistem, metodologi dan model pendidikan tersebut di dasarkan pada anggapan bahwa manusia adalah makhluk terbaik yang merupakan citra-Nya sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an: “Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai penciptaan manusia dari lempung, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina, kemudian menyempurnakannya, dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh-Nya ....” (QS 32: 7-9).

Itu adalah sistem pendidikan yang mendorong dan melatih manusia agar mampu memanfaatkan belahan otak kanan dan kirinya secara seimbang. Sebuah sistem pendidikan yang memaknai intelegensia secara utuh, dan membantu manusia memiliki keutuhan intelegensia tersebut.

Sungguh, masa depan yang lebih beradab, yang lebih mencerminkan kemuliaan manusia, adalah dambaan kita semua. Masa depan seperti itu pulalah yang kita begitu berharap akan kita wariskan kepada anak keturunan kita. Dan tonggak penting untuk mewujudkan semua itu, adalah pembangunan kembali sistem pendidikan yang bisa melahirkan para khalifah fil ardh.

3 komentar:

  1. Penjabaran di atas sangat baik untuk tataran akademisi non pesantren karena mengesampingkan fungsi ta'dzim terhadap seorang ustadz dan orang tua yang notabene jauh dari jangkauan otak kanan dan kiri kita. Ilmu pengetahuan menurut konsep islam adalah menyeluruh dan mencakup keimanan di dalamnya. Pemahaman islam berdasarkan beberapa hadits Nabi dan Al-Qur'an tentang ilmu dan pembentukan jatidiri itu sangat erat hubungannya dengan ta'dzim terhadap ustadz yang notabene sebagai wali dari orang tua si murid dalam menggembleng anaknya. Otak kanan dan kiri kita seoptimal apapun difungsikan tidak akan menemukan jawaban akan ta'dzim kecuali hanya karena iman. Anggapan yang salah bila mengatakan bila otaklah yang mampu membuat kita menjadi pemimpin.

    BalasHapus
  2. Dalam sebuah riwayat dikatakan Nabi Musa AS tidak mengerti apa yang dilakukan Nabi Haidir AS yang kepadanya Nabi Musa AS diperintahkan Allah SWT untuk belajar tentang makna kehidupan dan arti ilmu pengetahuan dalam pengamalannya. Hingga akhirnya disetiap kebingungan Nabi Musa AS, Nabi Haidir AS menjawab semua tanya yang dilontarkan Nabi Musa AS namun Nabi Musa AS pun masih tidak mengerti akan jawaban itu karena jawabannya adalah hal-hal yang belum terjadi yang hanya bisa dipahami dengan keimanan. Yah memang itu adalah kisah Nabi dan Nabi namun kisah itu diceritakan bukan untuk hanya sekedar didengar dan dibaca namun lebih jauh untuk dipahami dan diamalkan dalam kehidupan kita. Dan dalam salah satu firman Allah SWT yang memiliki makna bahwa seorang anak ingin dan akan menjadi apapun itu tergantung dari kedua orang tuanya makna itu bukan hanya terletak bagaimana cara mendidik otak kanan dan kiri si anak tapi juga sejauh mana letak keimanan orang tua terhadap Allah SWT. Sebelum jauh mendidik otak kanan dan kiri anak alangkah lebih baiknya mendidik keimanan anak agar menjadi orang yang bertaqwa. Bagaimana cara bertaqwa kepada Allah SWT yaitu dengan mengikuti Nabinya, pemimpin diantara kamu, dan tentunya hingga sampai kepada seorang guru. Kadang kita terjerembab pada pemikiran untuk memilih dengan menilai otaknya, menilai guru yang benar menurut islam adalah dengan melihat nasabnya, nasab memang bukan sebuah jaminan namun apalagi yang bisa dijamin jikalau nasabpun tak jelas apalagi orang yang tidak menghargai nasab, Sedikit dari keturunan yang baik menjadi jahat dan sedikit pula dari keturunan yang jahat menjadi baik filosofi itulah yang menguatkan bahwa keturunan adalah awal dari sebuah keimanan. Dalam dunia pesantren nasab merupakan bagian yang tidak akan pernah terlepaskan karena itu adalah konsep pemahaman Islam, Jika ingin mengasah otak kanan dan kiri secara seimbang pelajari nasab para Nabi berapa dari keturunan yang baik menjadi jahat dan berapa pula dari keturunan jahat menjadi baik. Bila otak yang dijadikan dasar seseorang layak menjadi pemimpin mungkin beberapa orang tua tidak layak memimpin anaknya bahkan mungkin Allah telah berbuat dzalim dengan menitipkan anak yang pintar kepada orang tua yang bodoh.

    BalasHapus
  3. Apapun dan siapapun yang memimpin lembaga ini mudah-mudahan sukses dan diampuni Allah SWT, meski paradigma dan bentuk institusi yang berada di pesantren sangat tidak nyambung dalam konsep pendidikannya dengan pesantren pada kulturnya.

    BalasHapus

ALAMAT

Kampus Kyai Mochtar, Jl. Kyai Jatira No. 02 Desa Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Contact Person: Setyo HD (085659846447), Masrur (081313337222)